Karya: Budi Hardjono
1:04,28/03/2016
Sedulurku tercinta, satu
hembusan angin menjadikan debu beterbangan, musim-musim berganti, sejarah
bergerak. Bagi orang yang memiliki pandangan tajam, maka akan tahu bahwa tak
ada yang terlepas dari hembusan sang angin. Sekecil debu dan sebesar galaksi, sekuntum
kembang dan sebesar mekarnya kehidupan, sekecil diri dan sebesar bangsa, maka
menyaksikan semuanya tergelar pada jantera semesta, namun mata dalam melihat
semuanya dikarenakan hembusan sang angin, Sang Angin, Sang Ruh. Mata lahir
dengan “nyata” bahwa semuanya digerakkan oleh Sang Ruh, memang mata luar tak
melihat atas betuk angin, namun mata dalam “yakin” akan sebab Sang Ruh ini.Bila Sang Ruh sebagai
sebab pertama, maka semua kejadian yang mengemuka sebagai sebab kedua. Bila
mata luar kita melihat sebab kedua, maka akan nampak pandangan “dualitas”,
“Keseluruhan”. Bila pandangan kita terarah pada sebab kedua maka akan lahir
namun bila kita punya pandangan sebab pertama akan punya pandangan
lahir kepasrahan “begitulah”. Ilmu yang seperti ini bagi orang Jawa disebut
selalu pertanyaan “kenapa”, namun bila kita punya pandangan sebab pertama akan
kita akan punya kesadaran pandangan Keseluruhan itu, bahwa semua digerakkan
“wang-sinawang”, artinya setiap gerak kehidupan ini atas genggaman Tuhan, dan
oleh Sang Ruh.
Sekali kita keluar dari
koridor ini, maka akan lahir pertentangan yang lahir atas pandangan “dualitas”
hidup, sehingga bila muncul dalam diri akan lahir perang di “dalam” diri, bila
organisasi, bila sejauh dalam agama akan lahir perang, baik perang di dalam
keluarga akan lahir konflik keluarga, bila organisasi akan muncul konflik
seagama, sejauh diluar agamanya, dan bangsa-bangsa. Memang, sebab kedua yang
menjelma ini mengantarkan pada “pengenalan” akan Tuhan, namun bila kita punya
Tuhan, Sang Ruh itu sendiri.
“Wang sinawang” ini
begitu teguh dipegang oleh orang Jawa, sehingga orang Jawa dianugrahi pandangan
hidup yang jembar karena yang dipandang adalah sebab pertama, atau Causa Prima.
Ika. Dalam era global ini, watak megah akan mendunia. Kenapa? Karena fakta
Watak megah ini meluas ke Nusantara sehingga lahir sesanti: Binneka Tunggal
membuktikan bahwa ketika dunia tak habis-habisnya bertengkar karena didukung
terjadi, dan menjadikan bukti bahwa di Nusantara ini menjadi “damai” yang
oleh pandangan sebab kedua tak usai-usai pertentangannya, hingga saling
berperang yang tak sudah-sudah. Namun di Jawa [ baca: Nusantara] hal itu tidak
terakhir di dunia, yang tersisa.
Kawan-kawan, inilah
saatnya kita bicara kepada dunia melalui penjagaan atas pandangan “wang
sinawang” ini, dengan cara kita “kuat” memandang keragaman sebagai bagian dari
hembusan Sang Ruh, sehingga Nusantara yang disebut dunia sebagai benteng
dan mendunia, sehingga Nusantara menjadi mercusuar dunia, inilah ngAllah yang
terakhir dunia yang “hijau dan damai” ini bukan lenyap tetapi malah bertahan
akan berujung luhur pada akhirnya, luhur wekasane
Tidak ada komentar:
Posting Komentar